Menjelajah Kawasan Ekosistem Leuser penuh dengan sejuta cerita yang
sulit untuk dilupakan. Seakan selalu terngiang di dalam kepala akan pengalaman singkat
itu. Panorama hamparan pegunungan, lereng perbukitan, dan aliran sungai yang
menyejukkan mata. Leuser bak sebuah rimba raya tak berbatas, tempat satwa
langka dan endemik hidup besar tanpa campur tangan manusia.
Hutan rapat yang kaya keanekaragaman hayati di dalamnya sekaligus
penopang kehidupan di sekitarnya. Leuser, hutan hujan tropis yang begitu luas
dan masyhur ada di tanah Sumatera, bukti suburnya setiap jengkal tanah
nusantara. Menjelajahnya seakan memberi tanpa Indonesia begitu luas dan majemuk
masyarakat.
Keindahan alam Leuser begitu identik dengan Tarian Saman, tarian
yang melegenda dan sudah terkenal hingga ke mancanegara. Seakan Tarian Saman jadi
perlambangan Suku Gayo, suku yang sudah lama mendiami daratan tinggi Leuser. Budaya
Gayo begitu kental dan mengakar kuat yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Beberapa bulan yang lalu, saya mendapatkan kesempatan unik untuk menyusuri
alam Leuser dan menjelajah segala ragam budaya yang mereka miliki. Pengalaman
pertama ke daratan Gayo terasa begitu istimewa saat diberikan kesempatan datang
dan berkunjung langsung di sebuah Desa di bawah kaki Gunung Leuser. Lokasi
terdekat bagi para pendaki tangguh yang ingin naik ke puncak Gunung Leuser.
Desa itu bernama Agusen.....
Tak lengkap rasanya ke Kawasan Ekosistem Leuser andai tak berkunjung
ke Desa Agusen, memberikan pilihan destinasi unggulan. Pengunjung seakan merasakan
berjalan di perkebunan serai wangi dan kopi yang terhampar luas, mencicipi
segelas kopi dari aliran anak Sungai Alas. Semua terasa begitu syahdu setelah
mandi di air aliran anak Sungai Alas dan disambut dengan hangatnya segelas kopi
hangat Agusen.
Desa tersebut dulu terkenal dengan aktivitas penanaman tumbuhan yang
terlarang pemerintah yaitu ganja (Cannabis sativa). Sulit medan dan jauhnya akses
ke Kota Blangkejeren dalam menjual berbagai hasil alam seperti tomat, cabai,
dan kopi seakan membuat masyarakat yang kurang pengetahuan menggunakan cara
pintas. Mereka yang gelap mata pun menanam tumbuhan ganja karena punya nilai
mahal meskipun risiko jeruji besi mengintai.
Namun kini Desa Agusen coba membersihkan diri dari anggapan desa
ganja namun jadi desa ekowisata nan elok dikelilingi tebing menawan. Akses
jalan pun mulus tanpa lubang, berbagai sentra pertanian dan persawahan warga dengan
mudah bisa bisa bawa ke kota. Tumbuhan haram tersebut tidak pernah terdengar
atau bahkan diingat kembali, seakan membangun kembali desa yang indah dengan
penduduk nan ramah.
Kontur Alam Gayo Lues dan Desa Agusen yang menawan
Memang begitu pantas Gayo Lues merupakan disebut dengan negeri
seribu bukit, hamparan pegunungan tinggi terhampar. Pada Kabupaten Gayo Lues ada
sebanyak sebelas kecamatan yang di dalamnya terhimpun 253 desa. Hampir sebagian
besar topografi Gayo Lues identik dengan hutan hujan tropis dan pegunungan, masyarakat
menggantungkan hidupnya dari budidaya
pertanian dan hasil alam dari Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).
Desa Agusen berada berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Leuser,
jaraknya hanya 51 dari puncak Gunung Leuser. Ada lebih dari 200 kepala keluarga
yang mendiami Agusen dengan latar belakang suku Gayo. Medan yang harus dilalui
cukup berat dan berliku untuk bisa tiba di sana. Desa Agusen berjarak ± 40 kilometer
dari Kota Blangkejeren, Namun tak perlu khawatir karena jalannya sudah beraspal
dan mulus walaupun sedikit sempit.
Hingga sampailah di sebuah Desa Agusen, desa kecil di bawah
himpitan pegunungan Leuser. Desa yang ada di lembah sempit, dibelah oleh anak
Sungai Alas yang jernih dan alirannya terdengar seperti simfoni. Ada bukit
cinta yang berdiri tegak di arah utara desa tersebut, dari atas seakan
pengunjung bisa melihat secara jelas Desa Agusen yang elok. Padi yang menguning
atau kebun kopi yang mulai ranum buahnya.
Masyarakat yang mendiami Agusen umumnya berasal dari Suku Gayo dan sedikit
campuran dari Suku Batak dan Jawa. Mereka sangatlah menjunjungi tinggi adat dan
istiadatnya yang sudah ada turun-temurun. Budaya para leluhur yang terus
dilestarikan sekaligus berkesinambungan dengan alam Leuser, penopang hidup
masyarakat sekitar.
Budaya Saman lintas zaman yang mengakar kuat
Pengalaman ke Leuser begitu identik dengan masyarakat Suku Gayo,
mereka menunjung tinggi adat dan budaya para leluhur. Ada banyak keunikan yang
lahir di tanah mereka, tentu saja Tarian Saman yang telah mendarah daging bagi
masyarakat di sana. Sejak pertama sekali diperkenalkan Syekh Saman dalam
berdakwah dan mengenalkan ajaran agama Islam di tanah Gayo.
Anak-anak di Gayo Lues sejak kecil sudah terbiasa dan sangat
telaten di setiap gerakan dari Tarian
Saman. Seakan menjadikan tarian
penyambut berbagai simbol dakwah ajaran islam. Budaya Tarian Saman akan terus
dilestarikan hingga ke anak cucu kelak sebagai warisan budaya masyarakat Gayo.
Saya seakan bisa melihat anak-anak di sana dengan memperagakan
Tarian Saman dari dekat. Seakan tetap mempertahankan jati diri budaya dan
identitas mereka sebenarnya. Mereka berlatih siang dan malam, melatih
kekompakan tim sampai terbentuk ritme irama yang sesuai dengan anjuran syekh. Sesuai
dalam norma di dalam tarian itu yang mencerminkan sifat sopan santun,
kekompakan, nilai agama, dan kepahlawanan.
Pakaian penarinya berwarna dengan kombinasi hitam, kuning, dan
merah jadi ciri khas Suku Gayo. Tanpa ada iringan alat musik namun hanya
menggunakan suara dan tepuk tangan penari dengan kombinasi menepuk dada serta
pangkal paha. Pemain Saman berjumlah ganjil dengan dua orang yang memberikan
aba-aba setiap gerakan. Semua gerakan itu begitu padu dan kompak, Syekh sangat
perhatian melihat gerakan para penari dan melantunkan syair-syair Saman nan
merdu.
Pada tahun lalu, Tarian Saman berhasil memecahkan rekor yang
melibatkan 10.000 penari. Jumlahnya bertambah sampai hari H pelaksanaan acara, tercatat
ada 12.262 ribu penari dari penjuru Gayo ikut serta dalam pemecahan rekor
fenomenal tersebut. Setiap gerakan Tarian Saman punya makna filosofi mendalam
khususnya menjaga nilai agama, kearifan lokal budaya, dan alam setempat.
Saya pun harus mengakhiri perjalanan singkat di sana, seminggu
waktu yang pendek buat dijalani. Pengalaman tak terlupakan saat di Leuser dan
Desa Agusen seakan menyimpan sejuta cerita yang saya simpan di dalam memori.
Tarian Saman dari anak-anak Agusen di sana seakan begitu membekas,
di tengah era globalisasi mereka tetap menjunjungi tinggi budayanya. Membekas
jadi goresan kumpulan kata dan tulisan bahwa Indonesia begitu memesona akan alam,
budaya, dan masyarakatnya.